Thursday, 29 November 2007
Sabang FreePort
Pelabuhan bebas Sabang
Disebelahnya pelabuhan TNI-AL.Trus di belakangnya lagi depot pertamina...
Trus dibelakangnya lagi laut dan gunung
trus...truss...truss...ketabrak hehheheh
Wednesday, 28 November 2007
Fatwa Hukum Ganja
Rapat Komisi “B” (Fatwa/Hukum)
MUI-Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Tentang
Hukum Narkotika
Rapat Komisi “B” (Fatwa/Hukum) Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung pada hari Jum‘at, 11 Jumadil Akhir 1414 H (26 Nopember 1993 M), bertempat di Kantor Majelis Ulama, dihadiri oleh Ketua dan Anggota Komisi “B” (Fatwa/Hukum), setelah:
Mengingat:
Fiman Allah swt., antara lain yang termaktub dalam surat Al-Maaidah, ayat 90 dan dalam surat An-Nisaa, ayat: 43; Hadits-hadits; Pendapat Ulama dan Dalil-dalil ’Aqliyah (1);
Mendengar:
Pikiran pikiran yang berkembang dalam diskusi pada hari dan tanggal tersebut di atas, baik mengenai pengertian ayat, hadits dan analisa terhadap pendapat ulama dan dalil-dalil ’aqliyah, termasuk akibat akibat yang ditimbulkan oleh ganja dilihat dari berbagai segi tinjauan;
Memperhatikan:
Bahwa di beberapa tempat dalam Provinsi Daerah Is-timewa Aceh ditemukan ladang ladang ganja yang diusahakan oleh beberapa orang dan hal ini membawa keresahan bagi masyarakat pada umumnya;
Menimbang:
Bahwa fungsi Komis “B” (Fatwa/Hukum) Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh, antara lain ialah memberikan fatwa dan bimbingan kepada masyarakat;
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
Pertama:
Menyimpulkan bahwa Hukum menggunakan Narkotika (Muskiraat atau Mukhaddirat), seperti Ganja, Morfin, Heroin, Candu dan Sejenisnya dengan cara Meminum, Memakan, Mengisap, Menginjeksi dam lain-lain adalah Haram.
Kedua:
Oleh karena itu, pekerjaan yang berkaitan dengan pengadaan Narkotika (Muskiraat dan Mukhaddirat), seperti Menanam, Menjual, Mengangkut dan sebagainya, hukumnya adalah Haram juga;
Ketiga:
Pengecualian untuk diktum pertama dan kedua di atas hanyalah terbayas pada hal-hal yang merupakan Dharuurat Syariyyah, misalnya untuk keperluan kedokteran.
Ditetapkan di : Banda Aceh
: 11 J umadil Akhir 1414 H
Pada Tanggal : 26 Nopember 1993 M
Mengetahui,
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Komisi “B” (Fatwa/Hukum)
Ketua, Ketua,
dto dto
(Tgk. H. Soufyan Hamzah) (DR.Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA)
Mengenai himbauan untuk ada kerjasama dengan dinas Kesehatan, Pendidikan dan lain lain, memanglah harus demikian adanya. Ini amat perlu. Bukan hanya dengan dinas Kesehatan, tapi juga dengan dinas-dinas yang lain termasuk dinas Infokom. Dan mesti juga semua komponen masyarakat. Demikian, Wallahu a‘lamu bishshawaab.
Tuesday, 27 November 2007
ladang Ganja Legal
Hemp is among one of the most productive and useful plants known; also very safe. The following materials can be made from hemp: paper, textiles, building materials, food, medicine, paint, detergent, varnish, oil, ink, and fuel. Unlike many crops, hemp can be grown in most locations and climates with only moderate water and fertilizer requirements. Where hemp is grown, it has become a valuable and environmentally friendly crop. ladang Ganja Legal
Iskandar Muda
Iskandar Muda (1583?[1] - December 27, 1636[2]) was the twelfth sultan of Aceh, under whom the sultanate achieved its greatest territorial extent, and was the strongest power and wealthiest state in the western Indonesian archipelago and the Strait of Malacca. "Iskandar Muda" literally means "young Alexander," and his conquests were often compared to those of Alexander the Great.[2] In addition to his notable conquests, during his tenure Aceh became known as an international center of Islamic learning and trade.
Conquests
The successes of Iskandar Muda were based on his military strength. His armed forces consisted of a navy of heavy galleys each with 600-800 men, a cavalry using Persian horses, an elephant corps, conscripted infantry forces [3] and more than 2000 cannons and guns (of both Sumatran and European origin). [4] Upon gaining power, he began consolidating control over northern Sumatra. In 1612 he conquered Deli, and in 1613 Aru and Johor. Upon the conquest of Johor, its sultan, Alauddin Riayat Syah II, and other members of the royal family were brought to Aceh, along with a group of traders from the Dutch East India Company. However, Johor was able to expel the Acehnese garrison later that year, and Iskandar Muda was never able to assert permanent control over the area. Johor further built an alliance with Pahang, Palembang, Jambi, Inderagiri, Kampar and Siak against Aceh.[3]
Iskandar Muda’s campaigns continued, however, and he was able to defeat a Portuguese fleet at Bintan in 1614. In 1617 he conquered Pahang and carried its sultan Ahmad Syah to Aceh, and thus achieved a foothold on the Malayan peninsula.[3] This conquest was followed by Kedah in 1619, in which the capital was laid waste and the surviving inhabitants were brought to Aceh.[5][4] He again sacked Johor in 1623 and took Nias in 1624/5. At this point Aceh’s strength seriously threatened the Portuguese holding of Melaka. In 1629, he sent several hundred ships to attack Melaka, but the mission was a devastating failure. According to Portuguese sources, all of his ships were destroyed along with 19,000 men. After this loss, Iskandar Muda launched only two more sea expeditions, in 1630/1 and 1634, both to suppress revolts in Pahang. His sultanate maintained control over northern Sumatra, but was never able to gain supremacy in the strait or expand the empire to the rich pepper-producing region of Lampung on the southern part of the island, which was under the control of the sultanate of Banten.[6] A similar capture of Perak occurred in 1620, when 5,000 people were captured and left to die in Aceh.
From Wikipedia, the free encyclopedia
Monday, 26 November 2007
Masjid Baiturrahman Banda Acheh
Bangunan itu dikenal sebagai salah satu masjid termegah di Asia Tenggara. Menjadi benteng masyarakat Aceh melawan penjajah. Juga jangkar bumi atas bencana tsunami.
Tak lain, bangunan itu adalah Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Merunut catatan sejarah, terdapat perbedaan, kapan masjid ini didirikan. Ada yang menyebut dibangun sekitar 1292 oleh Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah. Ada pula yang menyatakan didirikan pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pendapat lain adalah kompromi dari keduanya. Masjid dibangun oleh Johan Mahmud Syah, lalu dipugar oleh Sultan Iskandar Muda.
Sejak awal dibangun, selain untuk beribadah, masjid itu dijadikan pusat pengkajian dan pengembangan Islam. Semasa kepemimpinan Iskandar Muda, syiar Islam berkembang dengan pesat. Tak hanya di Aceh, tapi meluas ke berbagai daerah di sekitarnya. Seiring dengan itu, keberadaan Masjid Baiturrahman kian moncer. Sebab, perlahan tapi pasti, masjid itu berkembang menjadi pusat kajian Islam yang disegani. Bahkan, ia menjelma menjadi perguruan tinggi terbesar di Asia Tenggara.
Di sana, terdapat sekitar 15 jurusan pendidikan, baik agama maupun umum. Di bidang agama meliputi tafsir, perbandingan madzhab, hukum, bahasa dan sebagainya. Di bidang umum, mencakup kedokteran, kimia, matematika, pertambangan dan pertanian. Ada juga ilmu politik, pemerintahan, sejarah dan filsafat. Pada masa itu, diajarkannya berbagai bidang yang begitu luas, bahkan terkesan modern, tidaklah banyak. Tak aneh kalau banyak warga dan pecinta ilmu di luar Aceh berbondong-bondong belajar ke sana.
Tak hanya itu. Dalam sejarahnya kemudian, masjid itu juga berfungsi sebagai benteng pertahanan pasukan Aceh. Itu bermula dari musyawarah penting pada 22 Maret 1873 yang diprakarsai oleh Sultan Alauddin Mahmud Syah. Inti musyawarah itu adalah menggalang kebulatan tekad dan menyampaikan pernyatan tegas bahwa Aceh menolak kehadiran bangsa Belanda di bumi Serambi Mekkah. Akibatnya, kaum kolonial Belanda naik pitam.
Seminggu setelah pernyataan sikap tersebut, penguasa Belanda di Batavia mengumumkan perang terhadap Aceh. Aceh pun diserang. Tak kalah, masyarakat Aceh merancang berbagai strategi dan taktik perang di Masjid Baiturrahman. Sebab itulah, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler segera mengepung Masjid Raya Baiturrahman. Sebab, dari masjid itulah perlawanan digerakkan. Bahkan, Belanda sempat membakar masjid tersebut hingga dua kali.
Pembakaran pertama terjadi pada 10 April 1873, setelah penyerangan besar-besaran yang dilakukan Belanda terhadap para pejuang Aceh. Tetapi para pejuang Aceh bahu-membahu memadamkan api yang berkobar, sehingga masjid berhasil diselamatkan. Pembakaran dilakukan karena Belanda tak mampu menaklukkan Aceh. Dalam pertempuran itu, pihak Belanda mengalami kerugian yang amat besar. Mayor Jenderal Kohier tewas berikut perwira lainnya. Tercatat 397 orang prajurit dan 405 orang luka-luka.
Tewasnya sang Jenderal menyebabkan serdadu Belanda ditarik kembali ke Batavia. Setahun kemudian, tepatnya pada 6 Januari 1874, Belanda kembali menyerang Aceh dan berhasil merebut Masjid Baiturrahman. Pasukan Belanda yang tengah kalap, segera membakar Masjid Baiturrahman. Masyarakat Aceh amat berkabung dan benar-benar kecewa atas perangai dan kelakuan bangsa penjajah itu. Belanda pun menyadari kekeliruannya.
Untuk menarik hati rakyat Aceh, pada tanggal 9 Oktober 1879, pemerintah Belanda membangun kembali Masjid Baiturrahman. Masjid yang dibakar itu direhabilitasi oleh Gubernur Militer Aceh, Jenderal K. Van Der Heijden. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Teungku Kadhi Malikul Adil. Rehabilitasi dengan menambah satu kubah, selesai dikerjakan pada 1881.
Pada 1935, karena kebutuhan yang mendesak, masjid diperluas. Setahun kemudian, oleh Residen Y. Jongejans, kubah masjid itu ditambah dua lagi, di bagian kanan dan kiri, sehingga menjadi tiga kubah. Biaya perluasan itu mencapai 35.000 gulden. Arsiteknya adalah Ir. Mohammad Thaher (seorang putra Aceh) dan dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (BOW).
Pemugaran kembali dilakukan pada 1967 oleh Pemerintah daerah NAD. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun juga dua menara dengan jumlah tiangnya yang mencapai 280 buah. Tahun 1992-1995 masjid kembali dipugar dan diperluas sehingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000-13000 jema’ah.
Tepat di depan masjid, terdapat Menara Tugu Modal. Menara itu merupakan monumen pengingat bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara itu berlantai enam, dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa. Dari sini, dapat dilihat pemandangan kota Banda Aceh dan sekitarnya, yang dikelilingi oleh Pegunungan Bukit Barisan, dengan salah satu puncaknya, Gunung Seulawah Agam. Selain itu, tampak juga Selat Malaka.
Ketika badai tsunami menghantam Aceh pada Desember 2004, masjid itu kembali menampakkan “kelebihan”-nya. Di saat bangunan-bangunan lain porak-peranda, ia masih kuat berdiri. Bayangkan saja, hanya berjarak 160 kilometer dari pusat gempa berkekuatan 9 skala Richter, masjid itu masih tegak kokoh. Padahal, menurut para ahli geografi, mestinya bangunan itu hancur. Hanya bagian taman di halaman masjid dan sebagian tempat wudlu yang mengalami kerusakan. Juga menara Tugu Modal. Sebab itulah, ribuan orang segera mengungsi ke masjid untuk menyelamatkan diri.
Pasca tsunami, masjid itu kembali difungsikan sebagai tempat ibadah dan kajian Islam. Tepatnya, pada 7 januari 2005, setelah dibersihkan, solat Jum’at diselenggarakan di masjid tersebut. Meski tak sekokoh dulu, masjid tersebut tetap menjadi daya magnetik dan kiblat pengkajian Islam bagi warga Aceh.
Memang, 15 jurusan pendidikan yang dulu berpusat di masjid itu sudah tak ada lagi. Sebab, fungsi itu sudah diambilalih oleh berbagai universitas yang berdiri di Aceh. Namun, masjid itu tetap melakukan fungsi pendidikan. Di situ terdapat Taman Pendidikan Al-Quran dan Madrasah Darussyariah. Ada 12 ruang belajar dan perpustakaan sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan.
Merenungkan sejarah masjid tersebut, tak salah kalau masjid Baiturrahman bisa disebut sebagai jangkar penyangga Aceh. Tanpa masjid itu, susah diperkirakan, apa yang terjadi dengan bumi Serambi Mekkah.
Masjid Baiturrahman sesaat setelah tsunami reda...sampah dan mayat berserakan...